Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Rapat Koordinasi tentang Permasalahan Pencatatan Perkawinan Selasa, 20 September 2016 di Ruang Rapat Kantor setempat. Raker ini diikuti perwakilan Kepala KUA Kecamatan, Kepala Seksi Bimas Islam, Panitera Pengadilan Agama, dan Utusan dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.
Bertindak sebagai Narasumber adalah Hakim Pengadilan Agama dan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Gunung Kidul. Kepala Biro Tata Pemerintahan Pemprop. DI Yogyakarta dalam kata sambutannya menyampaikan, bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi pencatatan sipil di lapangan terdapat beberapa permasalahan. Oleh karenanya, diselenggarakanlah Rapat Kerja ini dengan melibatkan instansi terkait dan stakeholder yang ada.
Pemerintah melalui UU Nomor 23 Tahun 2006 menetapkan beberapa stelsel layanan administrasi kependudukan (Adminduk). Yaitu: (1) Stelsel Pemerintah Proaktif dalam memberikan layanan kepada masyarakat; (2) Stelsel Tempat Pencatatan Adminduk Berbasis Domisili Masyarakat yang bersangkutan, bukan berbasis pada tempat terjadinya peristiwa; (3) Stelsel Sinergitas Lintas Sektoral antar Instansi Terkait; dan (4) Stelsel Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran bagi seorang Anak, sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 9 Tahun 2016.
Ketua Pengadilan Agama Wonosari, Mohamad Jumhari, selaku narasumber menyampaikan, bahwa Pengadilan Agama sudah meningkatkan kualitas dan kemudahan layanan permohonan Itsbat Nikah (Penetapan Nikah).
Terobosan yang dilakukan Pengadilan Agama adalah Pertama: Telah diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2014 tentang tata cara pelayanan dan pemeriksaan perkara voluntair itsbat nikah dalam Pelayanan Terpadu, bersama dengan Kementerian Agama dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Menurut SEMA ini, sidang permohonan Itsbat Nikah boleh dengan hakim tunggal (tipiring) dan Penetapan Itsbat Nikahnya langsung BHT (Incracht Van Gewijsde).
Kedua: Apabila saksi nikah telah tiada (meninggal dunia) karena pernikahannya sudah dilaksanakan puluhan tahun yang lampau, maka dapat menggunakan saksi (asy-syahadah bil-istifadlah), yaitu saksi yang secara mutawatir mendengar tentang pernikahan itu dan para saksi tersebut tidak mungkin berbohong. Ketiga: Dipergunakannya sumpah seorang isteri, yaitu sumpah dan ikrar seorang perempuan tentang pernikahannya.
Keempat: Permohonan Itsbat Nikah tidak hanya diperuntukkan bagi pernikahan yang dilaksanakan sebelum diundangkannya UU Perkawinan Tahun 1974. Namun, diperuntukkan juga bagi semua pernikahan yang memang telah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya walaupun setelah tahun 1974.
Eko Mardiono, S.Ag., MSI., Kepala KUA Kecamatan Depok Kab. Sleman, sebagai peserta Raker menanyakan ketentuan Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tentang anak yang lahir dari pernikahan yang tidak tercatat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku tetapi dalam Kartu Keluarga telah ditulis sebagai suami isteri. Menurut Permendagri itu, anak tersebut dapat dibuatkan Akta Kelahiran dengan dinisbatkan kepada kedua orang tuanya dengan frase keterangan bahwa pernikahan kedua orang tuanya tidak tercatat menurut peraturan perundang-undangan. Menurut Permendagri tersebut, kedua orang tuanya pun cukup membuat SPTJM (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak) bahwa mereka memang telah melaksanakan perkawinan.
Menurut Eko Mardiono, ketentuan Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 tersebut berbeda dengan ketentuan UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Menurut peraturan-peraturan perundangan ini, pengabsahan suatu pernikahan harus melalui Penetapan Pengadilan Itsbat Nikah.
Narasumber Kepala Dukcapil Kab. Gunungkidul menjawab bahwa ketentuan Permendagri tersebut merupakan dekresi (terobosan) dalam program percepatan kepemilikan Akta Kelahiran bagi Anak. Dekresi ini ditempuh karena dalam Kartu Keluarganya memang sudah tertulis sebagai suami isteri tetapi pernikahannya tidak tercatat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan menurut narasumber Mohammad Jumhari, bahwa pernikahan tersebut dapat diitsbatnikahkan apabila pernikahannya memang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum agama yang dianutnya dan peraturan perundang-undangan, demikian (20/09/2016).
0 komentar:
Posting Komentar